Rabu, 09 Desember 2009

kloning dalam prespektif islam

Kloning Dalam Prespektif islam

Dalam kitab-kitab klasik belum ditemukan pendapat-pendapat pakar hukum Islam mengenai hukum spesifik cloning. Namun, metode pengambilan hukum - melalui kaidah-kaidah ushul fiqh - yang telah digunakan mereka bisa dijadikan panduan untuk mengambil dan menentukan kasus-kasus hukum yang akan terjadi berikutnya. Karena belum (mungkin juga tidak) ditemukannya rujukan dari kitab-kitab hukum terdahulu, para ahli hukum sekarang masih memperdebatkan masalah ini dan belum ditemukan kesepakatan final dalam kasus yang menyeluruh.Beberapa pendapat sebagian ahli hukum Islam masa kini mengenai kasus cloning ini. Pendapat yang dikutip dari kajian yang dibuat Badan Kajian Keislaman, Kairo, Mesir. Cloning terhadap tumbuh-tumbuhan atau hewan asalkan memiliki daya guna (bermanfaat) bagi kehidupan manusia maka hukumnya mubah/halal. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan untuk kesejahteraan manusia (lihat surat Al-Baqarah/2:29 dan surat Al-Jaatsiyah/45:13).
1

Arinya : Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah/2:29)

2

Artinya : Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al-Jaatsiyah/45:13)
Adapun hukum meng-cloning manusia, terdapat rincian tersendiri. Tergantung cara cloning yang dilakukan. Paling tidak ada empat cara yang bisa dilakukan dalam cloning: Cara pertama, cloning dilakukan dengan mengambil inti sel (nucleus of cells) “wanita lain (pendonor sel telur)” yang kemudian ditanamkan ke dalam ovum wanita kandidat yang nekleusnya telah dikosongkan. Cara kedua, cloning dilakukan dengan menggunakan inti sel (nucleus) “wanita kandidat” itu sendiri, dari sel telur milik sendiri bukan dari pendonor. Cara ketiga, cloning dilakukan dengan menanamkan inti sel (nucleus) jantan ke dalam ovum wanita yang telah dikosongkan nukleusnya. Sel jantan ini bisa berasal dari hewan, bisa dari manusia. Terus manusia ini bisa pria lain, bisa juga suami si wanita. Cara keempat, cloning dilakukan dengan cara pembuahan (fertilization) ovum oleh sperma (dengan tanpa hubungan sex) yang dengan proses tertentu bisa menghasilkan embrio-embrio kembar yang banyak.
Pada kasus dua cara pertama, pendapat yang dikemukakan adalah haram, dilarang melakukan cloning yang semacam itu dengan dasar analogi (qiyas) kepada haramnya lesbian dan sadduzarai’ (tindakan pencegahan, precaution) atas timbulnya kerancuan pada nasab atau sistem keturunan, padahal melindungi keturunan ini termasuk salah satu kewajiban agama. Di lain pihak juga akan menghancurkan sistem keluarga yang merupakan salah ajaran agama Islam. Pada cara ketiga dan keempat, cloning haram dilakukan jika sel atau sperma yang dipakai milik lelaki lain (bukan suami) atau milik hewan. Jika sel atau sperma yang dipakai milik suami sendiri maka hukumnya belum bisa ditentukan (tawaquf), melihat dulu maslahat dan bahayanya dalam kehidupan sosial.
Untuk menentukan hukum pastinya harus didiskusikan dahulu dengan melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu, yang meliputi ilmuwan kedokteran, ilmuwan biologi (geneticist, biophysicist, dkk), sosiolog, psikolog, ilmuwan hukum, dan agamawan (pakar fiqh).
Jika hasilnya bisa membikin kacau tatanan masyarakat (karena banyak orang kembar, sehingga jika ada tindak kriminal atau kasus hukum lainnya susah diidentifikasi, dan mungkin efek-efek lain) maka hukumnya tidak boleh, haram. Cara mengatasinya dengan melihat maslahah dan madharatnya. Jika hukum cloning sudah menjadi keputusan haram atau halal, maka tentu bisa ditindak lanjuti melalui lembaga-lembaga yang berwenang untuk melarang atau menjatuhkan sanksi bagi para pelanggarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar